Arsip

Archive for the ‘Digital Marketing’ Category

Shifting ke Belanja OnLine

Penulis: Aditiawan Chandra.
Artikel Harvard Business Review September 20 2017 yang menyorot kasus kebangkrutan produsen mainan “Toys R Us” menarik untuk diamati implikasinya.

Toko mainan yang lengkap ini sangat diminati oleh konsumen mancanegara, khususnya di Amerika Serikat. Kemudian terjadi malapetaka karena perusahaan ini mengalami kebangkrutan. Biang keroknya tidak lain dampak dari inovasi sistim logistik, yang kemudian mengganggu (disrupted) konsep cara berbelanja tradisional yang ada.

Awalnya, cara memasarkan produk2 retail memerlukan kehadiran konsumen untuk berkunjung ke gerai2 toko di pusat kota (CBD). Alasannya, konsentrasi pembeli ada di pusat kota– maka pilihlah lokasi usaha di tengah kota. Menariknya janji ini memicu produsen produk retail seperti produk mainan, pakaian dan sepatu untuk membuka pusat2 penjualannya di mal-mal tengah kota. Mereka memperebutkan tempat sewa strategis di mall, dan memang peningkatan penjualanpun terjadi setelah itu.

shoppingmall

Namun zaman emas ini sudah berlalu. Aplikasi teknologi internet pada sistim logistik pemesanan produk retail, berubah menjadi on-line lima tahun belakangan. Maraknya cara penjualan on-line terjadi di produk retail pakaian, mainan anak, sepatu dan produk convenience lainnya. Memang konsumen dimanjakan. Mereka bisa belanja dari rumahnya masing-masing tanpa berkunjung lagi ke pusat belanja. Akibatnya, lambat laun toko-toko produk retail di mall tengah kota mulai sepi pengunjung. Naaah fakta ini yang menjadi pil pahit pada perusahaan Toys R Us.

Apakah implikasinya bagi produsen retail di Indonesia?

Saat ini kota-kota besar Indonesia banyak meniru konsep pengembangan pusat kota seperti yang pernah di lakukan di negara-negara Barat. Gedung mal dan pusat belanja dibangun dan berjamuran di kota-kota besar. Kemudian penjual produk2 retail banyak yang memanfaatkan konsentrasi pengujung mall tersebut. Mereka memanfaatkan konsep cara penjualan barang offline dengan mendatangi pusat-pusat keramaian.

Kedepannya, bisa saja apa yang dialami seperti kasus Toys R Us akan terjadi di negara kita. Kita lihat bagaimana platform Facebook banyak dipakai oleh penjual multi level saat menawarkan produk2 mereka ke konsumen. Lambat laun cara berbelanja on-line akan menjadi gaya hidup masyarakat urban Indonesia. Apalagi dengan kecenderungan peningkatan kemacetan lalu lintas kota, motif penduduk kota mengunjungi mall bukan lagi untuk berbelanja produk retail, tetapi sekedar untuk cari tempat makan dan ngerumpi di café dan pub.

Jadi bersiaplah teman-teman menyongsong adanya “disruption” di sektor retail tradisional.

#online #disruption #retail

/a/ Link: https://hbr.org/2017/09/toys-r-us-is-dead-but-physical-retail-isnt?utm_campaign=hbr&utm_source=facebook&utm_medium=social

Tinjauan Buku: Storytelling with Data

Cole Nussbaumer Knaflic. 2015. STORYTELLING WITH DATA. New Jersey: John Wiley and Son. ISBN 978-1-119-00225-3

Oleh Aditiawan Chandra

Dalam era teknologi informasi yang semakin canggih kehidupan kita dipenuhi oleh lautan data. Data bisa berbentuk koleksi angka2 kuantitatif, kejadian satu event atau rekaman serial digital photo. Menjadi pertanyaan lebih lanjut:

“Bagaimana kita bisa memanfaatkan koleksi data yang banyak jumlahnya ini menjadi satu informasi yang bermanfaat bagi keputusan bisnis atau penyebaran komunikasi?”

Kita sering kecewa saat melihat laporan penjualan yang disampaikan bawahan yang sulit dicerna Belum lagi dengan tumpukan album foto tanpa tema, atau cerita panjang tanpa makna yang dijejali masuk ke timeline wall facebook kita. Menjembatani kegundahan para pembuat keputusan bisnis atau penerima pesan informasi, buku yang ditulis oleh Cole ini sedikitnya menjawab kebutuhan tersebut.

Buku ini berisikan pedoman cara menyampaikan pesan komunikasi dengan baik dan efektif ditengah tumpukan ribuan data yang ada di sekitar kita.Dari buku barunya yang berjumlah 267 halaman, Penulis menyarankan perlunya kita membuat cerita yang mudah ditangkap dan mudah dimengerti (STORYTELLING) dengan memanfaatkan data yang sesuai. Tujuannya tak lain agar pesan komunikasi yang diterima menjadi efektif — tidak membingungkan dan mudah dimengerti.

Penulis yang berlatar belakang pengetahuan matematika dan ilmu manajemen bisnis, memberikan pedoman dalam menyiapkan “storytelling” tersebut. Terdapat 6 tahapan, berikut ini:

  1. Mengerti KONTEKS PESAN yang disampaikan.

Kita perlu menetapkan target dari kelompok orang yang akan menerima pesan. Intinya hindari keinginan agar semua audience bisa dijangkau dengan pesan Anda. Kemudian berpikirlah sebentar dengan mempertanyakan:“Kira2 inti pesan apa yang paling penting yang ingin disampaikan?”

Konsep yang paling menarik dalam menyiapkan ini Penulis memperkenalkan metode cara membuat cerita yang dibatasi 3 menit untuk membaca/mendengar/ melihatnya. Naah jurus ini kita perlu banyak berlatih. Kemudian kita perlu membuat rencana “storyboard”, berisikan slogan:

(a) isu yang akan diusung,

(b) hubungkan dengan data yang ada,

(c) kemudian ide untuk memecahkan permasalahan pada isu tersebut,

(d) tunjukan ilustrasi/grafik/diagram/fotonya secara visual, dan

(e) sarankan rekomendasi.

  1. Gunakan TEHNIK PERAGA VISUAL yang cocok.

Tidak ada saran peraga visual yang bagaimana yang paling baik untuk dipakai. Apapun bisa dipakai sepanjang jangan terlalu berlebihan memperagakannya. Buatlah sesederhana mungkin. Namun demikian Penulis menyarankan untuk kita tidak menggunakan tehnik visual “apple chart” dan “chart 3dimensi”. Kitapun diminta untuk menjaga etika dalam memperagakan konsep pesan, dengan tidak melakukan manipulasi data atau gambar cloning.

  1. HILANGKAN CLUTTER: peraga visual yang rumit

Satu lagi tip untuk membuat cerita pesan yang yang efektif adalah menghindari peraga visual yang rumit. Apalagi jika memasukkan tampilan grafis statistic yang beragam dan rumit dalam satu tayangan. Ini perlu dihindari.

Penulis menyarakan perlunya menggunakan SKENARIO PERAGA sebelum kita memilih gambar yang akan digunakan.. Tentunya dengan membuat tayangan peraga berlatarbelakang warna putih, dengan menggunakan kontras dan tone warna untuk menonjolkan pesan yang “eye-catching”. Kita diminta untuk tidak menggunakan “Gridline” pada grafik presentasi.

  1. FOKUS KE INTI PESAN yang akan disampaikan.

Untuk menggiring perhatian penerima pesan dalam tayangan visual, sebaiknya kita menggunakan apa yang dinamakan “preattentive attribute”. Bentuknya bisa dalam pemilihan skala ukuran, tone dan kontras warna maupun memposisikan gambar/photo di halaman peraga pesan. Dengan tehnik2 contoh yang diberikan oleh Penulis, penggunaan attribute ini mampu menggiring perhatian indra mata dan otak penerima pesan tertuju pada focus pesan yang akan kita tonjolkan.

  1. Gunakan KONSEP DISAIN yang bagus.

Berkomunikasi dengan memanfaatkan data akan lebih menarik jika kita menggunakan PRINSIP KONSEP DISAIN yang bagus. Yang pertama gunakanlah jenis huruf, ketebalannya, warna huruf atau ukuran huruf untuk mendapatkan inti pesan yang menarik. Lebih lanjut hindari kalimat, cerita atau konsep yang mengganggu atau kurang berhubungan dengan pesan inti yang ingin ditonjolkan. Hendaknya penggunaan gaya bahasapun dibuat sesingkat mungkin dan jelas maksudnya. Hilangkan kalimat2 yang engga perlu dan berlebihan atau berulang. Warna pada grafik juga diminta agar kita pintar memilih, dengan kombinasi warna yang engga norak. Warna yang lebih tua bisa dipakai untuk menonjolkan focus pada data yang penting.

  1. Menyiapkan CERITA SINGKAT DAN JELAS berhubungan dengan data.

Pada akhir bagian bukunya, Cole memberikan jurus-jurus menyiapkan draft cerita atas dasar data dengan runtun dan lengkap. Banyak contoh kasus yang beliau berikan dibukunya tersebut untuk mendapatkan storytelling yang enak dibaca, engga membosankan, dan menarik untuk dibaca.

Saya kira akan lebih baik teman-teman membaca langsung buku yang agak teknis ini untuk mendapatkan wawasan yang lengkap. Penulisnya sendiri memiliki pengalaman yang luas di perusahaan JPMorgan Chase, perusahaan perbankan, private equity dan terakhir di Google Company. Buku ini ditulis atas dasar pengalaman lapangan selama bertugas di banyak perusahaan global tersebut.

Reviewer: Aditiawan Chandra.