Beranda > Book Review > Tinjauan Buku: Macroeconomics oleh Miles

Tinjauan Buku: Macroeconomics oleh Miles

Macroeconomics and the Global Business Environment.
Pengarang:David Miles dan Andrew Scott
Edisi: Kedua, tahun 2005
Penerbit: John Wiley & Sons, Inc.
Jml halaman: 610


Buku ini membahas perkembangan perekonomian negara-negara di dunia pada era globalisasi dan perdagangan bebas. Penulis dengan penguasaan pengetahuannya yang mendalam pada ilmu ekonomi makro dan ekonomi pembangunan telah berhasil membawa para pembacanya untuk mengerti mengapa satu negara memiliki kondisi kehidupan perekonomian yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain.

Tentunya sebagai dampak dari globalisasi dijelaskan pula mengapa investasi dan sumber dana mengalir dengan mudahnya keluar dari satu wilayah ekonomi yang sedang mengalami peningkatan resiko (ekonomi dan negara). Menghadapi ancaman lingkungan bisnis yang turbulensi, penulis memiliki argumentasi mengapa satu negara terpaksa berutang untuk membiayai pembangunannya. Termasuk diuraikan juga dengan gamblang hubungan tingkat bunga dengan kondisi pasar modal yang cenderung bergejolak dalam era globalisasi.
Menjawab berbagai isu utama tersebut Miles dan Scott menguraikan permasalahan-permasalahan perekonomian negara-negara di dunia ke dalam 21 bab topik bahasan. Memang benar walaupun bahasannya dilakukan secara ilmiah, penulis berhasil membawa kita menyimak berbagai contoh-contoh riil di lapangan dengan sentuhan pada kepentingan dunia bisnis. Sehingga janganlah kita berharap akan menemukan model-model ekonomi makro yang rumit dengan bahasan teori yang umumnya membosankan para layaknya pembaca buku ekonomi makro.
Pada awal bukunya, penulis menjelaskan apakah maksud dan cakupan pengetahuan ilmu ekonomi makro dan bagaimana kita dapat mengukur kinerja perkembangan suatu wilayah perekonomian. Berbagai pendekatan pengukuran telah digunakan, dimana negara maju biasanya melakukannya atas dasar agregasi arus pendapatan para pemilik faktor produksi. Sedangkan di negara berkembang, karena alasan kelangkaan data yang dimilikinya banyak yang menggunakan melalui pendekatan value added. Hasilnya adalah berupa perkiraan “pendapatan produk domestik” (GDP), yang jika telah disesuaikan dengan kenaikkan tingkat inflasi akan merupakan alat ukuran tingkat kesehatan perekonomian yang lebih baik. Sedangkan untuk tujuan perbandingan tingkat kehidupan antar negara, sebaiknnya digunakan “GDP riil per kapita”.
GDP perekonomian dunia pada tahun 2002 ternyata tidak terbagi rata. Amerika Serikat misalnya tetap unggul dalam sumbangannya sekitar 33%. Kemudian hampir sepertiga GDP dunia merupakan kontribusi negara-negara dalam kelompok Masyarakat Ekonomi Eropah. Sedangkan untuk Jepang mencapai 12%, China 4%, India 2% Afrika 2% dan negara lainnya 18%. Sebenarnya untuk tujuan perbandingan tingkat kehidupan antar negara, sebaiknnya digunakan “GDP riil per kapita”. Dan sungguh ironis Amerika Serikat pada tahun 2002 memiliki $35,000 per kepala jika dibandingkan dengan $960 untuk China dan $475 untuk India (seluruhnya menggunakan nilai tukar mata uang pasar).
Perkembangan GDP atas dasar perkembangan pendapatan para pemilik faktor, menunjukkan terdapat sekitar dua pertiga GDP negara-negara maju disumbangkan oleh kontribusi kompensasi perusahaan pada para pekerjanya berupa upah, gaji dan bonus. Sisanya terbagi rata pada peran laba perusahaan, pendapatan usaha keluarga dan pendapatan bunga. Sedangkan dengan menyimak pada perkembangan value added antar negara di dunia disimpulkan bahwa begitu suatu negara mengalami peningkatan GDPnya, maka kontribusi sektor pertanian akan berkurang dan digantikan oleh perkembangan industri pengolahan dan dilanjutkan dengan kemajuan di sektor jasa.
Pengukuran GDP yang lainnya adalah atas dasar pola pengeluaran permintaan agregat, yang terdiri dari komponen konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor. Atas dasar konsep ini, investasi di negara maju cenderung melebihi jumlah pengeluaran pemerintah, dengan tingkat konsumsi masyarakat yang masih mendominasi selama periode 1970-2002.
Pengukuran GDP memiliki banyak kelemahan. Contohnya, hampir 80% perekonomian dari ekonomi Nigeria merupakan underground economy, sebagaimana layaknya potret dari negara berkembang lainnya dengan persentase di bawah itu. Dan hal ini diakui oleh penulis, dengan mengajukan pentingnya kita menggunakan ukuran kesejahteraan. Pada saat ini kita dapat menggunakan ukuran HDI (human development index), yang merupakan rata-rata tertimbang dari posisi ranking negara dunia dalam pencapaian harapan hidup manusia, tingkat melek huruf dan ranking tingkat pendapatan atas dasar purchasing parity antar negara. Walaupun demikian setelah dilakukan kalkulasi yang lebih rinci oleh penulis, ternyata HDI cenderung berkorelasi secara positif dengan peningkatan GDP per kapita.
Ulasan buku ini selanjutnya, yaitu pada bab 3 s/d bab 7, menguraikan berbagai alasan mengapa proses penyamaan pendapatan per kapita (equalization) dari negara-negara di dunia semakin sulit untuk dilakukan. Dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas, kedua penulis secara bertahap menguraikan bahasannya yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Negara maju cenderung berkembang semakin maju karena pada tahap industrialisasi mereka telah berhasil meningkatkan capital stock melalui kegiatan investasi secara langsung, disamping penambahan jumlah jam kerja produktif yang lebih besar. Nah.. disinilah kelemahan negara berkembang yang cenderung melakukan mark-up dari nilai investasi proyek industri dan pembangunan infrastrukturnya melalui proses korupsi dan KKN disamping adanya kecenderungan produktivitas pekerja yang rendah.
  2. Pada saat kejenuhan investasi physik ini terjadi pada proses akhir industrialisasi, mereka berhasil melakukan switching kombinasi disain produksi yang lebih bermuatan teknologi, adaptasi temuan baru dan penggunaan jasa pekerja yang lebih trampil, berpendidikan dan berkualitas. Proses inilah yang menyebabkan mengapa kapital dan arus investasi langsung (PMA) tidak dengan cepat berpindah dari negara maju ke negara-negara berkembang.
  3. Proses globalisasi telah mendorong perusahaan multinasional dapat melakukan cross-border organisasi produksi di berbagai lokasi di dunia secara efisien. Pengaruh secara langsung akan tetapi masih didominasi pada private intra-firm trading and investment sesama negara maju di lingkungan kawasan OECD, dan kurang berpihak pada lokasi-lokasi prospektif di negara berkembang. Alasannya tentunya adalah iklim investasi yang kurang mendukung, gejolak resiko negara yang sering berfluktuasi dan lambannya para pekerja di negara berkembang dalam meresponse pada peningkatan ketrampilan dan produktivitas human capital.
  4. Akibat dari trend yang dinyatakan pada butir 1 sd butir 3 di atas, maka negara-negara berkembang, khususnya di Afrika sampai saat ini masih terbenam dalam jurang kemiskinan. Upaya yang diperlukan dalam jangka pendek adalah pemerintah dan masyarakat agar segera memperbaiki kualitas dari kelembagaan perekonomian dan kelembagaan masyarakat. Komponen kebijakan dan tindakan yang perlu dilakukan meliputi antara lain penghargaan pada property rights, pembenahan sistem hukum dan perundang-undangan, menigkatkan jaminan sosial masyarakat miskin, memecahkan konflik antar suku bangsa dengan cepat, memberantas korupsi, meningkatkan efektivitas birokrasi pemerintah dan menjaga stabilitas manajemen makro ekonomi.

Globalisasi, melalui proses perdagangan bebas ternyata memberikan dampak yang tidak merata pada para pelaku ekonomi dan masyarakat di suatu negara. Sebagaimana diuraikan oleh penulis buku pada bab 8 dan bab 9, teori perdagangan bebas tradisional ala Heckscher Ohlin kenyataannya telah gagal dalam memberikan janji-jajinya. Asumsi teoritis yang disarankan tidak didukung oleh fakta-fakta dilapangan. Yang jelas, perdagangan bebas akan memberikan manfaat yang sangat eksklusif (pilih kasih) dan akan memangsa target kelompok industri, pelaku ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara berbeda-beda. Untuk itu maka disarankan agar lembaga perdagangan dunia seperti WTO, semakin berperan dalam menjalankan fungsi politik negosiasi dan perannya sebagai “polisi dunia”.
Bahasan buku ini selanjutnya melihat pada kepentingan kebijakan pajak dan moneter dalam proses pengendalian stabilitas perekonomian. Kebijakan pemerintah ini perlu dirumuskan, diimplementasikan dan dimonitor dengan memperhatikan berbagai karakter konsumsi masyarakat, karakter investasi dan perkembangan pasar modal, serta arah dari kecenderungan perkembangan siklus bisnis regional dan dunia.
Dalam mengamati perkembangan komposisi anggaran belanja dari Pemerintah di negara maju terdapat satu kecenderungan telah berkurangnya tingkat surplus anggaran. Bahkan hampir sebagian besar negara tersebut menjalankan kebijakan defisit anggaran belanja negara dalam 25 tahun terakhir. Sebagai akibatnya maka kondisi pinjaman (pemerintah dan swasta) meningkat drastis selama periode tersebut, yang pada tahun 2002 secara rata-rata telah mencapai 60 % dari total GDP. Tetapi herannya tidak ada negara yang bangkrut dari kondisi ini, karena kemampuan long run sustainability yang dimilikinya. Namun, pada akhir ulasan pada bab 10 penulis menyarankan juga agar anggaran dapat dikelola secara lebih baik, mengurangi defisit dan porsi utang sehingga tidak mengganggu stabilitas perekonomian.
Bahasan pada sepuluh bab terakhir kemudian menyorot mengenai kondisi pasar saham dan obligasi di negara-negara di dunia, serta proses penentuan nilai tukar. Dengan peningkatan globalisasi maka volatilitas harga saham saat ini cenderung meningkat, seirama dengan perkembangan faktor ekonomi serta ekspektasi investor. Phenomena asset market buble pun mulai mencuat ke permukaan, dengan kecenderungan adanya herding behavior dan politik ekstrapolasi harga dalam jangka pendek yang dilakukan oleh para investor. Penulis menyarankan bahwa harga saham dalam jangka panjang akan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan faktor fundamental.
Kemudian dalam pasar obligasi, fenomena pasar akan lebih ditentukan secara tidak langsung oleh pergerakan kebijakan tingkat bunga dan pengendalian inflasi yang ditetapkan oleh Bank Sentral. Pola imbal hasil (yields) dari portofolio asset keuangan jangka pendek yang sangat dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan tingkat bunga kemudian akan merupakan acuan untuk pergerakan pasar obligasi dalam jangka panjang.
Akhirnya menyimak kembali currency crisis yang terjadi di negara-negara Asia pada tahun 1997 sebenarnya lebih banyak diakibatkan oleh serangan spekulasi dari para investor. Hal ini dapat terjadi mengingat para investor telah ragu tehadap kemampuan pemerintah dalam mencari solusi atas kondisi inkonsistensi dari kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankannya. Penulis menyarankan agar liberalisasi capital account dari neraca pembayaran nasional segera dilakukan oleh negara-negara Asia untuk menetralisir kemungkinan dampak gangguan keseimbangan nilai tukar di negara tersebut. Solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis serupa adalah segera merintis terbentuknya mata uang regional seperti mata uang euro di Masyarakat Ekonomi Eropa.
Menyimak materi bahasan dan contoh-contoh mutakhir yang diberikan oleh kedua penulis senior dunia ini maka buku ini sangat disarankan untuk dibaca dan dimiliki oleh para kalangan pebisnis, pembuat kebijakan dan para mahasiswa tingkat pasca sarjana. Selamat membaca!

Reviewer: Aditiawan Chandra.
(copyright@aditiawanchandra)

Kategori:Book Review
  1. Maret 4, 2009 pukul 3:57 pm

    ehm…………………………………kok gak ada tabel urutannya sih…….

    Suka

  2. taufix
    Desember 1, 2008 pukul 1:19 am

    pak mau beli buku ini dmn ya???dah beredar dmn saja???
    saya sdg cari di bdg atau crb???tx

    Suka

  3. cha-cha
    November 14, 2008 pukul 9:28 pm

    Pak, saya mau nanya mengapa negara-negara berkembang perekonomiannya lebih baik dari pada negara kita. Padahal umumnya negara kita dalam keadaan alam sangat bagus dan mempunyai peluang usaha yang besar. Hal itu bagaimana cara mengatasinya supaya hal tersebut tidak terjadi secara berkelanjutan.
    Makasih ya Pak atas respon nya !

    Suka

  4. Iwan Harahap
    Juli 4, 2008 pukul 1:35 pm

    Apakah benar masalah utama kita sebenarnya bukan masalah ekonomi melainkan masalah SDM ?? Makasih banyak…..

    Suka

  5. alex chandra
    Mei 29, 2008 pukul 11:41 am

    pak saya maw tnya
    1.kenpa negara berkembang memakai perhitungan pendekatan secara produk dan pengeluaran
    2.kenpa negara berkembang memakai perhitungan pendekatan secara pengeluaran dan pendapat.
    thankz

    Suka

  6. Bejo
    Januari 13, 2008 pukul 4:28 am

    Dear Mr. Adit..saya ada beberapa pertanyaan yang mungkin dapat bermanfaat.
    1. Pada negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, proses perhitungan pendapatan nasional dilakukan menurut konsep “value added” secara sektoral. Apakah kelemahan proses perhitungan tersebut serta solusi pemecahannya?

    2. Menurut bapak isu2 utama perekonomian makro yang dihadapi Indonesia sekarang2 ini apa saja?

    Trims bapak..mudah2an berguna.Salam

    Suka

  7. November 30, 2007 pukul 6:44 am

    maaf nur hasanah, saya pribadi tidak mendalami perekonomian negar nigeria. anda dapat akses langsung ke Google

    Suka

  8. nur hasanah
    November 20, 2007 pukul 5:53 pm

    bapak saya ingin bertanya mengenai perekonomian negara nigeria,hal itu sebagai referensi saya dalam mengerjakan tugas ekonomi saya.Diharapkan bantuannya,terima kasih atas perhatian dan bantuan yang bapak berikan

    Suka

  9. September 6, 2007 pukul 8:25 am

    maaf untuk roy dan mila atas response yang lamban.
    bagi negara yang banyak penduduknya, maka kebutuhan akan energy dari sumber daya minyak akan merupakan permasalahan tersendiri. Devisa negara tersebut akan terkuras saat harga minyak bumi melonjak, sehingga mempengaruhi stabilitas perekonomian.

    Berbeda dengan negara Saudi sebagai penghasil minyak terbesar, maka pajak atas minyak bumi dapat digunakan untuk memberikan lapangan kerja yang berlimpah.

    Untuk Jepang maaf saya kurang menguasai kondisi terakhir ini.

    Vera… masalah sistem yang paling cocok untuk Indonesia adalah sistem perekonomian pasar terkendali. artinya jika terdapat signal2 yang mengarah pada kegagalan mekanisme pasar maka pemerintah harus segera tanggap dan turun tangan melakukan koreksi-koreksinya.

    Suka

  10. veny vera
    September 4, 2007 pukul 4:58 pm

    pak saya mau bertanya..
    apakah menurut bapak, indonesia cocok bila menggunakan sistem perekonomian sosialis? bila cocok mengapa? bila tidak mengapa?

    Suka

  11. mila
    April 2, 2007 pukul 1:19 pm

    bp ..
    aku mau nanya soal masalah perekonomian negara jepang dong.
    soalnya aku disuruh bkn simulasi ttg sidang PBB.
    apakah ada perbedaan antara perekonomian Jepang dulu dan sekarang?
    trm ksih,

    Suka

  12. roy
    Maret 27, 2007 pukul 4:46 pm

    pak saya mau tanya pada chapter 16

    1. kenapa harga minyak mempengaruhi natural rate of unemployment pada negara2 berkembang seperti indonesia yang meng import minyak bumi dan dimana minyak merupakan fsktor penting dalam suatu produksi?dan kenapa berbeda dengan negara yang memproduksi munyak tersebut?berkaitan dengan stabilitas policy

    2. pada tahun 1990 di jepang terjadi pengangguran besar besaran, interest rate nya 0, deficit yg besar, apakah ini menunjukkan stabilitas policy nya tidak efisien?

    thanks bgt yah

    Suka

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar