Beranda > Macro Economy > Krisis, Globalisasi dan Agenda Pembangunan Stratejik Indonesia

Krisis, Globalisasi dan Agenda Pembangunan Stratejik Indonesia

|Penulis: Aditiawan Chandra| Krisis ekonomi yang dialami pada detik-detik terakhir kita meninggalkan abad ke 19 telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bangsa Indonesia. Krisis ekonomi, yang kemudian membesar menjadi krisis ekonomi-politik dan sosial, telah memaksa kita melakukan reorientasi pemecahan permasalahan dan melaksanakan perubahan yang diperlukan. Pembangunan nasional yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi ternyata kurang mampu untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahan pembangunan nasional yang berskala multidimensional.

Sejajar dengan berkurangnya dominasi pendekatan ekonomi dalam melakukan terapi masalah-masalah pembangunan nasional, maka aspek politik, sosial dan hukum mengalami transformasi menuju sistem kehidupan bangsa yang berkeadilan. Proses ini masih berlanjut karena berbagai perubahan yang terjadi belum mencapai hasil yang memuaskan.


Solusi atas pemecahan masalah ekonomi dan non-ekonomi memerlukan penanganan dan upaya merealisasikan agenda stratejik pembangunan nasional. Hanya dengan upaya ini perubahan dalam dimensi dan kualitas pembangunan nasional mampu memenuhi harapan-harapan yang diinginkan warga dan masyarakat Indonesia.
Prestasi Semu Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional Indonesia pasca kemerdekaan, telah ditempuh dengan menghasikan berbagai kemajuan yang cukup berarti. Pada masa kepemimpinan politik orde baru, pembangunan nasional lebih menitik beratkan pada tujuan pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi pada skala makro dan mikro.

Strategi pembangunan yang demikian kemudian menciptakan peningkatan pendapatan per kapita , penurunan jumlah kemiskinan, jumlah pengangguran dan perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata.

Dalam hal pertumbuhan ekonomi, Indonesia pada saat itu mengalami kemajuan peningkatan kapasitas terpasang nasional dari pabrik-pabrik yang mengolah produk-produk hasil pertanian dan perikanan. Indeks produksi sektor manufaktur telah melesat tinggi secara berlipat ganda. Demikian juga ragam produk dan jasa yang dijual di pasar domestik telah berkembang luas.

Bahkan prestasi putra-putra nasional mulai bermunculan, menyeimbangi pretasi rekan-rekannya pengusaha minoritas nasional yang selama puluhan tahun telah berkiprah di arena perdagangan dan produksi. Dengan dorongan iklim usaha yang kondusif kita bangga masih ada beberapa perusahaan nasional yang mampu melakukan alih status menjadi perusahaan konglomerasi. Mereka merambah jauh ke pasar internasional.

Produksi para pengusaha pribumipun tak kalah dalam menunjukan jati dirinya. Produk-produk sepatu, pakaian, hasil hutan, hasil laut dan kerajinan dengan logo merk “buatan Indonesia” menjadi laku keras di pasar regional pusat pertumbuhan di Asia Tengah, Pasifik, Timur Tengah dan pasar Eropah. Tak heran jika beberapa tahun sebelum kejatuhan politik orde baru negara Indonesia pernah diprediksi untuk menjadi salah satu calon “macan ekonomi” di Asia.

Dalam bidang pertanian kita dapat mencukupi kebutuhan nasional akan beras dan palawija secara mandiri. Politik serta strategi pengembangan sektor pertanian, yang didukung oleh pembangunan irigasi, pupuk, dan transportasi antar propinsi telah membawa Indonesia “swa-sembada” di bidang pangan. Kitapun memperoleh medali penghargaan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan FAO untuk prestasi cemerlang tersebut.
Di bidang perkebunan kita jumpai pengembangan kebun sawit dengan menyertakan petani rakyat melalui pola PIR-Trans; dan inipun turut memberikan andil peningkatan panen tandan buah segar (sawit dan produk turunannya CPO) pada saat ini sekarang muncul sebagai produsen minyak sawit terbesar nomor dua di dunia.

Sayang rekaman prestasi ini rupanya tidak berkelanjutan.
Strategi pembangunan ekonomi nasional yang sangat berorientasikan pada peningkatan produksi ekonomi nasional ternyata rapuh karena tidak disertai dengan pembangunan dan perkuatan kelembagaan baik pada tataran publik maupun institusi pasar. Lembaga keuangan yang seharusnya berfungsi melakukan alokasi sumber daya secara efisien dan bijak menjadi lumpuh dengan menumpuknya kredit bermasalah akibat optimisme para pelaku ekonomi, kurang hati-hatinya pengusaha memprediksi risiko pasar dan risiko nilai tukar.

Politik pemerintahan orde baru yang memberlakukan sistem represi dan ketertutupan telah melumpuhkan berbagai institusi strategis seperti sistem hukum untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, sistem politik yang dapat menciptakan check dan balances dan sistem sosial yang diperlukan untuk memelihara kehidupan yang harmonis dan damai.

Politik luar negeri yang semakin terbuka untuk penyertaan modal asing dalam produksi nasional ikut berperan dalam ketergantungan perekonomian nasional pada sistem gurita perusahaan global yang sangat sensitif pada terpeliharanya risiko stabilitas negara.

Dampak Globalisasi
Pada saat orde reformasi tampil memimpin proses pembangun nasional, ekonomi dunia sedang memasuki abad komputerisasi dan digitalisasi.Teknologi informasi dan telekomunikasi ternyata kemudian berhasil merubah tatanan dan pola produksi, perdagangan serta investasi dari perusahaan multinasional dan perusahaan global.

Globalisasi menuntut perubahan pengaturan kebijakan perdagangan dan investasi yang memberikan ruang gerak yang lebih leluasa agar kapital, teknologi dan tenaga kerja dapat berpindah dengan mudah antar kedaulatan wilayah negara. Dia menuntut juga perubahan paradigma, perilaku dan sistem pengalokasian sumber daya ekonomi dan perusahaan.

Di satu pihak globalisasi telah membawa berbagai kesempatan untuk pengusaha-pengusaha lokal yang tanggap dan siap memanfaatkan peluang. Sebaliknya globalisasi juga telah menerkam mangsa yang lemah dalam aspek pemanfaatan teknologi, penggunaan sumber kapital dan kepemilikan sumber daya manusia yang kapabel dan kompeten.

Pakar dunia dalam globalisasi sekaliber Stiglitz bahkan telah menyimpulkan bahwa globalisasi telah menimbulkan banyak kekecewaan karena efek berantai yang dihasilkannya di negara berkembang; meliputi kemiskinan, pengangguran, kepastian hidup, ketidakstabilan dan kerusakan lingkungan hidup.

Perekonomian Indonesia yang menekankan pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata memang rentan pada kemampuannya menetralisir efek negatif dari globalisasi dan gejolak pasar internasional. Ketidak siapan kita dengan kompetensi sumber daya manusia yang kompeten, ditambah dengan tidak berperannya sistem hukum, politik dan sosial yang dapat menyikapi berbagai kesempatan dari keterbukaan ekonomi ini, semuanya ini sangat berperan dalam menciptakan “prestasi semu” dari pembangunan nasional yang telah kita uraikan di atas.

Daya tahan perekonomian Indonesia dari perusahaan-perusahaan industri pribumi terbukti masih lemah dan menunjukan kekurang mampuannya mengantisipasi dampak dari jatuhnya kepercayaan luar negeri pada kondisi politik dan sosial, dan menurunnya daya beli masyarakat beberapa tahun setelah krisis ekonomi meletus.

Masih ingat di benak kita bagaimana efek domino jatuhnya nilai mata uang “bath” Thailand pada tahun 1997 kemudian membuat negara kita seringkali mendevaluasi “rupiah”. Sistem kepemerintahan Orde Barupun jatuh setelah itu — dengan efek rantai kekacauan di segala lini pada aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hitungan 2 sampai 3 tahun setelah itu banyak perusahaan-perusahaan yang merupakan kebanggaan kita menjadi porak poranda. Daftar kepailitan perusahaan semakin bertambah. Perusahaan PMA yang semula banyak berinvestasi di Indonesia juga dalam sekejap mengurangi produksi dan menghentikan kegiatan ekspansi perluasan kapasitas pabriknya.

Pada babak berikutnya kita saksikan bagaimana daya beli segmen konsumen masyarakat bawah Indonesia di daerah perkotaan dan pedesaan mengalami kejatuhannya pada titik paling rendah — yang dianggap layak untuk dapat terselenggaranya kehidupan sehari-hari yang berkualitas. Tingkat dan jumlah pengangguran, baik yang formal dan terselubung, bertambah berlipat-lipat kali ganda pada tahun 2005 dibandingkan pada posisi tahun 2000.

Kondisi ini sangat rentan pada upaya memelihara stabilitas sosial jangka panjang. Meletusnya peristiwa konflik antar kelompok di beberapa wilayah Indonesia, keresahan pekerja akibat perlakuan sepihak yang kurang adil dari pengusaha sebagai rentetan efek berganda kenaikan BBM, kekurangan kepercayaan umumnya masyarakat pada lembaga publik pemerintah saat ini merupakan tanda-tanda penurunan stabilitas sosial.

Jelas sudah bahwa globalisasi ekonomi dapat memberikan peluang dan berbagai kesempatan luas jika kita siap dengan strategi dan kompetensi SDM untuk memanfaatkannya. Tetapi di lain pihak globalisasi ekonomi pada saat kita tidak mampu memanfaatkan peluang akan memberikan kekecewaan dan dampak negatif yang berantai serta meminta biaya pengorbanan yang sangat tinggi bagi masyarakat.

Agenda Pembangunan Stratejik Masa Depan

Permasalahan dan agenda pembangunan stratejik masa depan yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi, komponen masyarakat dan bangsa Indonesia cukup luas dan rumit.

Masih belum mampunya pertumbuhan ekonomi memberikan lapangan kerja mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai permasalahan sosial yang mendasar. Upaya memberikan lapangan kerja yang cukup sangat rentan pada perubahan kondisi politik, ekonomi dan konflik sosial di daerah, dan bencana alam yang datang bersusulan.

Pemecahan atas permasalahan ini juga sangat tergantung bagaimana sektor pertanian berikut industri pengolahan barang-barang pertanian dan hasil laut dapat diberdayakan oleh kekuatan kelompok ekonomi UKM di pelosok pedesaan dan daerah pesisir. Program pembangunan pemerintah dalam pengembangan irigasi, pembangunan dan perbaikan jalan akses dari desa ke tempat pengumpul hasil pertanian dan budaya laut, merupakan alternatif terobosan untuk menjawab tantangan permasalahan ketenagakerjaan.

Di sektor industri manufaktur, Indonesia perlu melakukan program pengembangan industrinya yang berdaya saing tinggi yang dapat menggantikan peran industri tekstil, pakaian, sepatu — yang mulai pudar dalam daya saing di pasar internasional. Penguatan struktur industri setengah jadi, pengembangan infrastruktur, sumber eneergi alternatif, kegiatan R & D dan efeisiensi sistem transportasi dan logistik perlu dilakukan dalam waktu dekat ini.

Kualitas sumber daya manusia dari bangsa Indonesia masih rendah. Pembangunan pendidikan tingkat dasar sekalipun belum mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara, yang terpuruk kondisi sosial ekonominya. Belum meratanya proses dan kualitas pendidikan menyebabkan berbagai kesempatan ekonomi yang muncul di lokalitas penjuru tanah air tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan.

Alokasi anggaran pembangunan nasional yang disisihkan sejumlah 20 persen kita sambut dengan baik. Semoga program pendidikan dasar tanpa dikenai biaya dapat segera direalisasikan dalam waktu dekat. Selanjutnya perbaikan kualitas kesejahteraan guru dan dosen dapat ditingkatkan agar proses menghasilkan bibit-bibit unggul putra-putri bangsa berkualitas dapat terlaksana. Kurikulum berbasiskan kompetensi dan peningkatan ahlak dan keagamaan harus menjadi prioritas.

Masalah kesehatan masyarakat perlu juga memperoleh perhatian. Masih banyak anak bangsa di daerah terpencil dan di pedesaan yang mendapatkan asupan kalori (calory-intake) jauh dibawah tingkat kelayakan yang ditetapkan oleh badan internasional PBB. Proses penanganan penyakit menular jenis generik baru, seperti flu burung, perlu ditangani secara serius. Ancaman peningkatan tingkat kelahiran juga semakin kentara dan badan yang berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan semakin dibutuhkan.

Pembangunan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi ternyata telah mengakibatkan rusaknya kualitas lingkungan hidup di beberapa tempat wilayah tanah air. Pencemaran air, udara dan atmosfer semakin mengancam upaya masyarakat mendapatkan kondisi kehidupan yang berkualitas. Lahan subur pertanian di Jawa secara cepat telah beralih status menjadi areal industri, pemukiman dan perdagangan. Penegakan hukum dalam menciptakan tata-ruang ekonomi dan sosial yang seimbang dan sehat perlu mendapatkan perhatian dan prioritas.

Kita menjumpai juga banyaknya peraturan perundangan, hukum dan kebijakan dari pimpinan perusahaan-perusahaan besar dan menengah yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, hak usaha kecil, dan hak rakyat kecil. Hendaknya upaya terhadap kepentingan rakyat kecil harus berangsur menjadi perhatian dan memdapatkan skala prioritas dalam proses pengambilan keputusan pada skala mikro perusahaan dan skala makro kebijakan publik.

Menghadapi dampak negatif dari globalisasi kita harus tetap meletakkan kepentingan nasional dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia sebagai pedoman kebijakan publik. Janganlah para pengambil keputusan terbawa pada imbas dari arus liar pola perdagangan internasional yang sangat bebas, dan kemudian dijadikan obyek dari globalisasi. Birokrat harus memerankan dirinya sebagai subyek dan operator dalam turut mewujudkan segi positif globalisasi.

Pada skala mikro, perusahaan yang menghasilkan produk dan jasa hendaknya juga memperhitungkan seluruh potensi biaya polusi, biaya sosial dan “spread effect” atau “trickle down effect” yang negatif untuk pelanggan, nasabah dan pihak pihak yang berkepentingan di masyarakat sekitar. Kepedulian pada pengembangan community dalam wujud karya nyata, yaitu melalui social responsibility program perlu digalakkan, sehingga terciptalah pembangunan nasional yang bermartabat dan berkeadilan.

Daftar Rujukan

  1. Ananta, Aris. 2003. The Indonesia Crisis: A Human Development Perspective. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

  2. Baron, David. 2005. Business Environment.

  3. Bappenas. 2005. RPJMN 2004-2009. Jakarta: Sinar Grafika

  4. Ohmae, Kenichi. The Borderless World.

  5. Porter, Michael E. The Competitive Advantage.

  6. Rachbini, Didik. 2002. Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan.

  7. Smith, JW. 2000. Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century. New York: ME Sharpe

  8. Streeten, Paul. 1981. Development Perspective. London: MacMillan.

  9. Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books

  10. Susilo Bambang Yudhoyono dan M Yusuf Kala. 2004. Membangun Indonesia.

  11. Swasono, Sri Edi. 2003. Ekspose Ekonomika Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi. Jogyakarta: Pustaka Studi Ekonomi Pancasila-UGM (Copyright@aditiawan chandra)

Kategori:Macro Economy
  1. Februari 7, 2010 pukul 9:34 pm

    maaf mu tanya niih , dampaak positif dan negatif globalisasi terhadap Bidang Hukum apa yaa ?? makasih

    Suka

  2. NIDA
    Januari 28, 2010 pukul 12:30 pm

    jdi gmn cara yg jelas.a tuk nanggulangin masalh ekonomi???????
    q binguung………biz,da dampak.a gx da penanggulangan.a…………???
    mksh……

    Suka

  3. Tutie
    Oktober 30, 2009 pukul 9:52 pm

    terimakasih………….

    Suka

  4. Connie
    November 26, 2008 pukul 12:32 pm

    Yah…

    susah sekaRang duNia kaya giNI….

    Suka

  5. Syahruddin
    April 7, 2008 pukul 2:02 pm

    siapa pengarang artikel ini, akan saya jadikan rujukan untuk penulisan tesis.

    Suka

  6. Desember 30, 2007 pukul 9:47 am

    tentu saja sangat sulit untuk merumuskan suatu kebijakan ekonomi yang bisa menjadi solusi yang menguntungkan senua pihak, pasti ada beberapa pihak yang merasa dirugikan. menyikapi kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah Indonesia jelas telah dibuat pusing, namun tetap saja pemerintah dituntut oleh masyarakat agar mengambl kebijakan yang tidak merugikan rakyat kecil,dan inilah yang menjadi dilema pemerintah.sebentar2 pemerintah kerap dipersalahkan oleh rakyat apabila keputusan yang diambil dinilai merugikan rakyat kecil.

    Suka

  7. Agustus 2, 2007 pukul 8:09 pm

    terima kasih pak aswady atas masukkannya. salam

    Suka

  8. Agustus 1, 2007 pukul 12:57 pm

    Banyak pandangan dan pendapat mengenai kerusakan lingkungan akibat pemenuhan kebetuhan ekonomi yang dibarengi dengan penggunaan teknologi yang kian kompetitif. Alasannya sangat mendasar dan semuanya benar. Tetapi sentuhannya lebih kepada paradigma pendekatan pemenuhan kebutuhan manusia yang kian tak terkendali, padahal ketersediaan sumber daya yang ada sangat terbatas.
    Perubahan lingkungan dari hari ke hari atau dari waktu ke waktu semakin terasa. Upaya pengelolaan melalui pencegahan, pengendalian dan penanganan kerusakan/pencemaran lingkungan sudah terlaksana, tetapi wujud ke arah perbaikan yang komprehensif dan paripurna terhadap pencapaian tujuan tidak perna terealisasi dengan baik. Peraturan-peraturan sudah cukup banyak. Namun sayang, peraturan-peraturan tersebut sifatnya lintas sektoral, katakanlah masih parsial), belum memperlihatkan sinergisitas penyelesaian masalah yang terintegrasi dan kopmrehensif. Sosialisasi dari peraturan masih timpang. Masyarakat pinggiran atau masyarakat awam hanya berbuat atau bekerja tanpa mengetahui apa batas-batas yang seharusnya mereka lakukan. Pendidikan pengelolaan (manajemen)lingkungan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya luput dari hidupnya. Konteks dan arti kata “pembangunan yang berwawasan lingkungan”, tak pernah terdengan dari telinga mereka, apatah lagi arti, maksud dan tujuan dari kata tersebut.
    Bencana terjadi di mana-mana. Kerugian harta benda dan nyawa melayang adalah bukti bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan dan masyarakat tidak punya konsep dan pendidikan bagaimana menghadapi bencana. Apa yang harus dilakukan sebelum terjadi, ketika terjadi dan pasca terjadinya bencana. Jangan kita hanya berusahan memenuhi kebutuhan ekonomi dengan melupakan keterbatasan sumber daya alam yang tersedia. Bila kita melakukan perencanaan dan pengelolaan yang baik, maka keberlanjutan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang akan sama dengan apa yang telah kita nikmati sekarang. Bahkan bisa lebih dari pada itu. Libatkan semua unsur atau semua pihak di dalam pengelolaan lingkungan yang berbasis ekonomi lingkungan. Terima Kasih

    Komentar oleh Muh. Aswady – Palu

    Suka

  9. Bayu
    April 8, 2007 pukul 8:13 am

    Kl menurut pandangan saya, perokonomian itu kaya peramida, tingkat paling bawah itu, pertanian, perikanan, pertambangan & energi, industri logam dasar, dsb. Tingkat diatasnya seperti industri perakitan, pegawai/buruh, industri tekstil, industri teknologi menengah lainnya. Tingkat paling atas industri teknologi tinggi, industri perangkat lunak, dsb.
    Untuk membangun perekonomian harus dimulai dari piramida tingkat dasar, yaitu pertanian sampai industri logam dasar. Sektor ini harus dijaga dengan cara apapun meski harus memproteksi. Produksi bahan2 dasar & energi diusahakan selalu melimpah di dalam negri. Indonesia mempunyai semua yg ada, tinggal kemauan kita. Misal untuk pertanian dilindungi supaya jangan sampai impor. Tapi kenyataanya beras saja sampai impor, kedelai impor. Mungkin cara pandang yang salah tentang perekonomian. Pengendalian inflasi dianggap segalanya. Mungkin pendapat saya lain yaitu “DAYA BELI ADALAH SEGALANYA”. Ini pendapat pribadi saya setelah berdagang dan mengamati kejadian yang terjadi sehari-hari. Terima kasih.

    Suka

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar